Dalam
kehidupan manusia, pasti pernah menemukan perlakuan yang tidak adil atau bahkan
sebaliknya, melakukan hal yang tidak adil. Dimana pada setiap diri manusia
pasti terdapat dorongan atau keinginan untuk berbuat kebaikan “jujur”. Tetapi
terkadang untuk melakukan kejujuran sangatlah tidak mudah dan selalui
dibenturkan oleh permasalahan – permasalahan dan kendala yang dihadapinya yang
kesemuanya disebabkan oleh berbagai sebab, seperti keadaan atau situasi yang
buruk.
Dampak
positif dari keadilan itu sendiri dapat membuahkan kreatifitas dan seni tingkat
tinggi. Karena ketika seseorang mendapat perlakuan yang tidak adil maka orang
tersebut akan mencoba untuk bertanya atau melalukan perlawanan “protes” dengan
caranya sendiri. Nah… cara itulah yang dapat menimbulkan kreatifitas dan seni
tingkat tinggi seperti demonstrasi, melukis, menulis dalam bentuk apabun hingga
bahkan membalasnya dengan berdusta dan melakukan kecurangan.
Keadilan
adalah pengakuan atas perbuatan yang seimbang, pengakuan secara kata dan sikap
antara hak dan kewajiban. Setiap dari kita “manusia” memiliki itu “hak dan
kewajiban”, dimana hak yang dituntut haruslah seimbang dengan kewajiban yang
telah dilakukan sehingga terjalin harmonisasi dalam perwujudan keadilan itu
sendiri.
Keadilan
pada dasarnya merupakan sebuah kebutuhan mutlak bagi setiap manusia dibumi ini
dan tidak akan mungkin dapat dipisahkan dari kehidupan. Menurut Aristoteles,
keadilan akan dapat terwujud jika hal – hal yang sama diperlakukan secara sama
dan sebaliknya, hal – hal yang tidak semestinya diperlakukan tidak semestinya
pula. Dimana keadilan memiliki cirri antara lain ; tidak memihak, seimbang dan
melihat segalanya sesuai dengan proporsinya baik secara hak dan kewajiban dan
sebanding dengan moralitas. Arti moralitas disini adalah sama antara perbuatan
yang dilakukan dan ganjaran yang diterimanya. Dengan kata lain keadilan itu
sendiri dapat bersifat hokum.
Keadilan itu
sendiri memiliki sifat yang bersebrangan dengan dusta atau kecurangan. Dimana
kecurangan sangat identik dengan perbuatan yang tidak baik dan tidak jujur.
Atau dengan kata lain apa yang dikatakan tidak sama dengan apa yang dilakukan.
Kecurangan
pada dasarnya merupakan penyakit hati yang dapat menjadikan orang tersebut
menjadi serakah, tamak, rakus, iri hati, matrealistis serta sulit untuk
membedakan antara hitam dan putih lagi dan mengkesampingkan nurani dan sisi
moralitas.
Ada beberapa
faktor yang dapat menimbulkan kecurangan antara lain :
- Faktor ekonomi. Setiap berhak hidup layah dan membahagiakan dirinya. Terkadang untuk mewujudkan hal tersebut kita sebagai mahluk lemah, tempat salah dan dosa, sangat rentan sekali dengan hal – hal pintas dalam merealisasikan apa yang kita inginkan dan pikirkan. Menghalalkan segala cara untuk mencapai sebuah tujuan semu tanpa melihat orang lain disekelilingnya.
- Faktor Peradaban dan Kebudayaan sangat mempengaruhi dari sikapdan mentalitas individu yang terdapat didalamnya “system kebudayaan” meski terkadang halini tidak selalu mutlak. Keadilan dan kecurangan merupakan sikap mental yang membutuhkan keberanian dan sportifitas. Pergeseran moral saat ini memicu terjadinya pergeseran nurani hamper pada setiapindividu didalamnya sehingga sangat sulit sekali untuk menentukan dan bahkan menegakan keadilan.
- Teknis. Hal ini juga sangat dapat menentukan arah kebijakan bahkan keadilan itu sendiri. Terkadang untuk dapat bersikapadil,kita pun mengedepankan aspek perasaan atau kekeluargaan sehingga sangat sulit sekali untuk dilakukan. Atau bahkan mempertahankan keadilan kita sendiri harus bersikap salah dan berkata bohong agar tidak melukai perasaan orang lain. Dengan kata lian kita sebagai bangsa timur yang sangat sopan dan santun, dan lain sebagainya.
Keadilan dan
kecurangaan atau ketidakadilan tidak akan dapat berjalan dalam waktu bersamaan
karena kedua sangat bertolak belakang dan berseberangan.
Keadilan
Keadilan
menurut Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia.
Kelayakan diartikan sebagai titik tengah diantara ke dua ujung ekstrem
yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Kedua ujung ekstrem itu
menyangkut dua orang atau benda. Bila kedua orang tersebut mempunyai
kesarnaan dalam ukuran yang telah ditetapkan, maka masing-masing orang
harus memperoleh benda atau hasil yang sama. kalau tidak sama, maka
masing-masing orang akan menerima bagian yang tidak sama, sedangkan
pelanggaran terhadap proporsi tersebut berarti ketidak adilan.
Keadilan
oleh Plato diproyeksikan pada diri manusia schingga yang dikatakan adil adalah
orang yang mengendalikan diri, dan perasaannya dikendalikan olch akal. Lain
lagi pendapat Socrates yang memproyeksikan keadilan pada pemerintahan. Menurut
Socrates, keadilan tercipta bilamana warga negara sudah merasakan bahwa pihak
pemerintah sudah melaksanakan tugasnya dengan baik. Mengapa diproycksikan pada
pemerintah, schab pemerintah adalah pimpinan pokok yang mencntukan dinamika
masyarakat.
Menurut
pendapat yang lebih umum dikatakan bahwa keadilan itu adalah pengakuan dan
perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Keadilan terletak pada
keharmonisan menuntut hak dan menjalankan kewajiban. Atau dengan kata lain,
keadilan adalah keadaan bila setiap orang memperoleh apa yang menjadi haknya
dan setiap orang memperoleh bagian yang sama dari kekayaan bersama.
Keadilan
Sosial
Berbicara
tentang keadilan, Anda tentu ingat akan dasar negara kita ialah Pancasila. Sila
kelima Pnacasila, berbunyi : “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Dalam
dokumen lahimya Pancasila diusulkan oleh Bung Kamo adanya prinsip kesejahteraan
sebagai salah satu dasar negara. Selanjutnya prinsip itu dijelaskan sebagai
prinsip “tidak ada kerniskinan di dalam Indonesia merdeka”. Dan usul dan
penjelasan itu nampak adanya pembauran pengertian kesejahteraan dan keadilan.
Selanjutnya
untuk mewujudkan keadilan sosial itu, diperinci perbuatan dan sikap yang perlu
dipupuk, yakni:
- Perbuatan luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
- Sikap adil terhadap sesarna, menjaaga keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghonnati hak-hak orang lain.
- Sikap suka memberi pertolongan kepada orang yang memerlukan
- Sikap suka bekerja keras
- Sikap menghargai hasil karya orang lain yang bemianfaat untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama.
Keadilan dan
ketidak adilan tidak dapat dipisahkan dalarn kehidupan manusia karena dalam
ludupnya manusia menghadapi keadilan / ketidakadilan setiap hari. Oleh sebab
itu keadilan dan ketidakadilan, menimbulkan daya kreativitas manusia. Banyak
hasil seni lahir dari imajinasi ketidakadilan, seperti drama, puisi, novel,
musik dan lain-lain.
Berbagai
Macam Keadilan
1. Keadilan
legal atau keadilan moral
2. Keadilan
distributive
3. Keadilan
komutatif
Artikel tentang Hukum
Etika dan Moral Politik vs
Penegakan Hukum
Dalam praktiknya
antara Politik dan Hukum memang sulit dipisahkan, karena setiap suatu rezim
yang sedang berkuasa disetiap negara punya “politik hukum” sendiri dalam
melaksana konsep tujuan pemerintahannya khususnya yang berhubungan dengan
pembangunan dan kebijakan-kebijakan politiknya baik di dalam negeri maupun di
luar negeri.
Maka jangan heran jika di negeri ini begitu terjadi pergantian Pemerintahan yang diikuti adanya pergantian para Menteri maka aturan dan kebijakan yang dijalankannya juga ikut berganti, dan setiap kebijakan politik harus memerlukan dukungan berupa payung hukum yang merupakan politik hukum dari kekuasaan rezim yang sedang berkuasa agar rezim tersebut memiliki landasan yang sah dari konsep dan strategi politik pembangunan yang dijalankannya. Strategi politik dalam memperjuangkan politik hukum tersebut harus dijalankan dengan mengindahkan etika dan moral politik.
Maka jangan heran jika di negeri ini begitu terjadi pergantian Pemerintahan yang diikuti adanya pergantian para Menteri maka aturan dan kebijakan yang dijalankannya juga ikut berganti, dan setiap kebijakan politik harus memerlukan dukungan berupa payung hukum yang merupakan politik hukum dari kekuasaan rezim yang sedang berkuasa agar rezim tersebut memiliki landasan yang sah dari konsep dan strategi politik pembangunan yang dijalankannya. Strategi politik dalam memperjuangkan politik hukum tersebut harus dijalankan dengan mengindahkan etika dan moral politik.
Adapun
“Etika Politik” harus dipahami dalam konteks “etika dan moral secara umum”.
Bicara tentang “etika dan moral” setidaknya terdiri dari tiga hal, yaitu:
pertama, etika dan moral Individual yang lebih menyangkut kewajiban dan sikap
manusia terhadap dirinya sendiri. Salah satu prinsip yang secara khusus relevan
dalam etika individual ini adalah prinsip integrasi pribadi, yang berbicara
mengenai perilaku individual tertentu dalam rangka menjaga dan mempertahankan
nama baiknya sebagai pribadi yang bermoral. Kedua, etika moral sosial yang
mengacu pada kewajiban dan hak, sikap dan pola perilaku manusia sebagai makhluk
sosial dalam interaksinya dengan sesamanya. Tentu saja sebagaimana hakikat
manusia yang bersifat ganda, yaitu sebagai makhluk individual dan sosial.
Ketiga, etika Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan hubungan antara manusia
baik sebagai makhluk individu maupun sebagai kelompok dengan lingkungan alam
yang lebih luas.
Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Hukum yang keberadaannya merupakan produk dari “keputusan politik” dari politik hukum sebuah rezim yang sedang berkuasa, sehingga tidak bisa dihindarkan dalam proses penegakan hukum secara implisit ‘campur tangan rezim yang berkuasa’ pasti ada. Apalagi system Pemerintahan Indonesia dalam konteks “Trias Politica” penerapannya tidaklah murni, dimana antara Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif keberadaannya tidak berdiri sendiri. Indonesia menjalankan konsep trias politica dalam bentuk ‘sparation of powers’ (pemisahan kekuasaan) bukan ‘division of power’ (pembagian kekuasaan). Dimana tanpak di dalam proses pembuatan undang-undang peran pemerintah begitu dominan menentukan diberlakukannya hukum dan undang-undang di negeri ini.
Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Hukum yang keberadaannya merupakan produk dari “keputusan politik” dari politik hukum sebuah rezim yang sedang berkuasa, sehingga tidak bisa dihindarkan dalam proses penegakan hukum secara implisit ‘campur tangan rezim yang berkuasa’ pasti ada. Apalagi system Pemerintahan Indonesia dalam konteks “Trias Politica” penerapannya tidaklah murni, dimana antara Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif keberadaannya tidak berdiri sendiri. Indonesia menjalankan konsep trias politica dalam bentuk ‘sparation of powers’ (pemisahan kekuasaan) bukan ‘division of power’ (pembagian kekuasaan). Dimana tanpak di dalam proses pembuatan undang-undang peran pemerintah begitu dominan menentukan diberlakukannya hukum dan undang-undang di negeri ini.
Kenyataan
ini sebenarnya dapat menimbulkan ketidak puasan rakyat dalam proses penegakan
hukum di Indonesia apa lagi di sisi lain para politikus di negeri ini kurang
memahami dan menghormati “etika politik” saat mereka menjalankan proses
demokrasi yang selalu cenderung melanggar hukum dan aturan main yang mereka
sepakati sendiri, sehingga tidak berlebihan banyak yang mempertanyakan moral
politik dari para politikus bangsa ini. Ekses dari ketidakpuasan rakyat di
dalam praktik demokrasi dan penegakan hukum yang terjadi selama ini telah
memunculkan fenomena distrust dan disintegrasibangsa yang pada gilirannya
mengancam keutuhan NKRI. Tidaklah heran sejak tahun 2001, MPR-RI mengeluarkan
Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Dimana
lahirnya TAP ini, dipengaruhi oleh lemahnya pemahaman terhadap etika berbangsa,
bernegara, dan beragama. Munculnya kekahwatiran para wakil rakyat di MPR
tersebut terungkap sejak terjadinya krisis multidimensi yang memunculkan
ancaman yang serius terhadap persatuan bangsa, dan terjadinya kemunduran
pelaksanaan etika kehidupan berbangsa. Hal itu tampak dari konflik sosial yang
berkepanjangan, berkurangnya sopan santun dan budi luhur dalam pergaulan
sosial, melemahnya kejujuran dan sikap amanah dalam kehidupan berbangsa,
pengabaian terhadap ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di negeri ini.
Jadi
etika politik pada gilirannya punya kontribusi yang kuat bagi baik-tidaknya
proses penegakan hukum di negeri ini, apalagi moral para Penegak Hukum yang
sudah terlanjur bobrok, maka tidak dapat dipungkiri lengkaplah sudah runyamnya
penegakan hukum di negeri tercinta Indonesia.
Opini
Indonesia
akan hancur oleh campur tangan orang-orang yang tidak punya moral, dan
ketatanegaraan kita harus di perbaiki sebelum perbaiki sistem politik dan
hukum. Maka dari itu sebelum terlanjur parah dan tidak tertolong lagi, mau
tidak mau kita semua harus segera membangun moral bangsa ini, beri rakyat
contoh dan suri teladan yang baik dari para Penguasa, para Politikus, para
Tokoh masyarakat dan Agama, bangun system pendidikan dengan mengedepankan
pendidikan akhlak dan kepribadian jadi hal yang juga turut menentukan lulus
tidaknya para Siswa dan Mahasiswa, tanpa budaya etika dan moral yang dimiliki
generasi penerus pada gilirannya Indonesia pasti akan hancur sebagai negara yang
berdaulat dan bermartabat, bahkan rakyat akan merasakan nasibnya akan jauh
lebih buruk daripada saat-saat rakyat Indonesia dijajah oleh Belanda dahulu.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar